Pengguna:Wundri
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
1 Muharram atau 1 Suro
Peringatan 1 Muharram di Indonesia tahun-tahun terakhir ini menjadi rancu. Penyelenggaraan diadakan diberbagai tempat, dari kantor resmi pemerintah s/d balai Kelurahan, RW dan RT. Jadi peringatan itu menjadi resmi atau setengah resmi sebab para petinggi negara menempatkan peristiwa itu dalam acara kenegaraan. Padahal peringatan itu sebenarnya adalah peringatan keagamaan biasa yaitu tahun baru Hijjriah umat Islam, tak beda Imlek (china) atau Soowa (Jepang ). Mengambil sisi baiknya, peringatan tahun baru apapun, pada tempatnya jika orang lalu mengkaitkan dengan harapan-harapan kedepan, tekad ataupun mengambil hikmah atas latar belakang terjadinya peringatan itu. Memang menjadi sah-sah saja jika pada mementum seperti itu para pemimpin, pemuka agama memberikan wejangannya. Persoalan muncul karena 1 Muharram itu berbarengan dengan peringatan 1 Suro ~ tahun baru Jawa ~ Dari azas keadilan, perlakuan resmi seharusnya juga diterima pada kelompok Jawa yang menjadikan 1 Suro adalah tahun barunya. Yang terjadi selama ini peringatan 1 Suro hanya membonceng panitya peringatan 1 Muharram/1 Suro yang bernafaskan ajaran Islam. Akibatnya segera terasa adanya penolakkan kaidah atas ritual-ritual yang dilakukan orang Jawa yang tergolong musyrik dalam pandangan agama Islam. Misalnya memberi sesaji ditempat-tempat tertentu, penjamasan pusaka, laku kungkum diair dsb. Adanya benturan pandangan ini, dikalangan bawah sungguh menggelisahkan, mereka berada dalam garis yang berseberangan. Pertanyaannya adalah : Apa dan bagaimanakah menyikapi peringatan 1 Suro yang sering disebut sebagai tahun baru Jawa / Saka itu ?
Tinjauan peristiwa.
Pada tgl. 8 Juli 1633 dalam suatu sesaji agung Mahesa Lawung, yaitu gabungan sesaji Raja Suya (penobatan raja ) dan sesaji Raja Wedha ( penghormatan leluhur), Sultan Agung Hanyokrokusumo memproklamirkan berlakunya kalender Jawa/Saka untuk seluruh wilayah kerajaan Mataram. Kalender Jawa ini disesuaikan dengan kalender Hijjriah sa`at itu (1043 H). Intinya tahun Saka yang semula dengan perhitungan matahari diganti dengan perhitungan bulan, sama dengan perhitungan Hijjriah dengan selisih satu hari. Peristiwa ini sesungguhnya sebuah pernyataan bersama antara Sultan Agung dan Sunan Kalijaga yang mewakili komunitas Islam, tentang bilamana 1 Muharram dan 1 Suro secara resmi dimulai. Disamping itu dalam kesempatan ini Sultan Agung juga memberlakukan sistim Pranata mangsa dan tata cara sesaji memperingati 1 Suro. Dalam beberapa artikel yang kurang cermat, Sultan Agung ini disebut sebagai penyiar agama Islam, gelar resminya Sayiddin Panatagama, padahal faktanya ia lebih mendesakkan simbol-simbol budaya Jawa yang seringkali tidak sejalan dengan syari`at Islam. Bahkan beliau mengerahkan para pujangga kraton untuk menggali nilai—nilai budaya Jawa. Hasilnya adalah Wayang Krucil dan Sastra Gending. Oleh karena itu pernyataan bersama ini, tergolong suatu peristiwa politis ; dalam mana tercermin cara orang Jawa menyikapi realitas yang tidak bisa dibendung. Jadi Sultan Agung dalam peristiwa ini sekaligus memberlakukan dua kalender. Artinya ia mengakui eksistensi Islam ( dan wibawa S Kalijaga ) disisi lain seperti mengingatkan bahwa simbol-simbol kekuasaan negara masih berlaku. Kedekatan Sunan Kalijaga dan Sultan Agung bukan tanpa alasan. Sunan Kalijaga adalah tokoh spiritual Islam yang kharismatis dan misterius, anggauta Dewan Walisongo. Dalam menyiarkan agama Islam beliau menempuh cara assimilasi yaitu “membumikan” Islam kedalam budaya setempat. Cara ini lebih diterima dipedalaman Jawa dimana masyarakatnya sudah memiliki pegangan spiritual yang mengakar. Bagaimanapun Sultan Agung harus mengikuti tradisi sebagai penerus Majapahit, suatu pengakuan posisi legalitas penguasa tanah Jawa yang susah payah ditegakkan oleh Senopati. Situasi zaman pada sa`at itu, penaklukan atau peperangan sedang jeda, namun pergulatan spiritual masih terus berlangsung. Orang Jawa dari ujung timur ( Blambangan ) sampai barat (Pajajaran) belum sepenuhnya menerima Islam. Sementara di Batavia budaya Barat (Kristen) mulai masuk. Dengan latar belakang demikian maka posisi Sultan Agung sebagai pemegang puncak kekuasaan menjadi rumit dan menarik untuk dicermati.
Hal-hal yang perlu diketahui Kepyakan tahun Jawa/ Saka 1555 ( baca: Soko) atau Hijjriyah 1043 atau 1633 Masehi, menghasilkan aturan sbb: 1. Penetapan tahun Jawa/Saka, berlaku dibumi Mataram dengan 1 Suro sebagai awal tahun baru. 2. Penetapan Pranatamangsa : Kasa, karo, katiga dst beserta lamanya hari. 3. Penetapan Windu, pawukon, nama-nama windu, tahun, bulan, hari, pasaran dan wuku. 4. Penetapan umur windu, tahun, bulan, pasaran, mangsa (musim), wuku dan letaknya masing-masing. 5. Keharusan menyelenggarakan : Sesaji raja Suya, sesaji raja Wedha, sesaji Grama wedha dan sesaji Suran pada tahun
baru Jawa (1 Suro).
6. Penertiban peringatan tahun Hijjriyah dan tahun Jawa/Saka sbb :
a. Tahun Hijjriyah 1Muharram 1043 Alip (windunya), ditetapkan pada hari Selasa Pon, kerena itu sistim tersebut
dinamai sistim Asapon. (Alip Selasa Pon)
b. Tahun Jawa/Saka 1 Suro 1555 Alip, ditetapkan pada hari Rebo Wage, karena itu sistim tersebut dinamai
sistim Aboge. (Alip Rebo Wage). Dengan demikian 1Muharram dan 1 Suro setiap tahun selisih satu hari.
Makna peringatan 1 Suro yaitu agar tahun baru tsb membawa ketertiban, ketenteraman, kesejahteraan, kemakmuran, keadilan dan kejujuran. Pelaksanaan peringatan 1Suro didahului dengan surat perintah raja dengan kewajiban sbb :
1. Semedi manekung kehadirat Tuhan YME selama 7 hari.
2. membersihkan diri secara jasmaniah dan rohaniah.
3. membersihkan desa dan tempat tinggal, pekarangan/ tempat umum.
4. membersihkan makam leluhur, makam raja, makam kerabat
5. Mengadakan sesaji Suran untuk menghormati leluhur berupa tumpeng Suran, nasi golong, bubur suran merah putih
yang jumlahnya disesuikan dengan umur tanggal 1 Suro sa`at bersangkutan.
6. Mendirikan gapura dijalan umum, gapura rumah sendiri dengan hiasan janur kuning dan umbul-umbul.
7. Sedekah bumi dengan maksud menyelamati bumi sebagai tempat tinggal manusia dan sumber penghasil hasil bumi
dan sifat hidup.
Arti kata SURO adalah berani. Artinya berani melakukan pengendalian diri, mesu budi ( introspeksi), menekan hawa nafsu dan melakukan pengorbanan demi kepentingan umum. Arti kata Saka atau SOKO. Yaitu tiang utama /tiang pedoman bangunan rumah. Maka Aji Saka artinya raja yang memberi pedoman hidup. Prabu Aji Saka ( Sri Maha Punggung I ) adalah yang membuat tahun Saka pertama kali Tahun 78 SM. Sastra Gending diartikan sebagai irama bahasa. Didalam kitab ini penuh dengan pelajaran tentang unggah –ungguh atau tata krama pergaulan hidup. Siapa tidak tahu tatakrama pasti tidak tahu aturan atau tidak beradab. Tatakrama adalah aturan menghormati termasuk menghormati arwah leluhur. Disinilah makna sesaji, penjamasan pusaka, semedi, sedekah bumi menemukan titik temu. Penghormatan kepada “lian”/ orang lain atau simbol-simbol adalah bagian dari sikap hidup orang Jawa sehari-hari. Dengan demikian teranglah bahwa yang ingin diketengahkan dalam kepyakan tahun Saka tersebut justru pengukuhan kembali budaya Jawa tanpa harus berkonflik dengan agama Islam. ( Karena penanggalannya sama, meskipun cara menyebutkan menurut selera lidah Jawa.) Suro, Sapar, Mulud, Bakdamulud, Jumadiawal, Jumadiakhir, Rejeb, Ruwah dst
Kesimpulan : Kepyakan tahun Saka/Jawa pada tgl. 8 Juli 1633 M adalah cara Sultan Agung mendamaikan budaya Islam/Arab dengan budaya Jawa dengan lebih menonjolkan keunggulan disisi budaya Jawa. Sebutan Kerajaan Mataram Islam seharusnya ditulis dalam tanda kutip sebab tidaklah sama dengan sebutan Kerajaan Islam Demak yang memang bernafaskan Islam. Tindakan Sultan Agung mewakili cara orang Jawa mengkritisi atau menelikung agama-agama yang masuk ketanah Jawa. Bobot karakternya sama dengan lakon carangan punakawan Semar, Gareng, Petruk dalam kisah Mahabarata, atau memadukan ajaran agama Hindu dan Budha dalam satu candi sebagaimana terlihat disitus candi-candi di Jawa Timur. Agama Hindu yang diJawakan seperti candi Prambanan atau Borobudur dengan ciri Budha yang berbeda dengan aslinya di India.
Referensi : 1.Suseno SJ, Franz Magnis, Etika Jawa, sebuah analisa falsafi…, PT.Gramedia pustaka Utama 1991. 2. De Graaf, DR. H.J, Awal Kebangkitan Mataram, Grafiti pers. 1987. 3. Bakker. SJ, J.W.M, FilsafatKebudayaan., B.P.K Gunung Mulia. 1992.

