Catur Warna
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
| Artikel ini adalah bagian dari seri Hindu |
|
| Sejarah Hindu | |
| Sejarah Hindu Nusantara | |
| Sraddha, Keyakinan dalam Hindu |
|
|---|---|
| Brahman • Ātmān • Karmaphala | |
| Samsāra • Moksha | |
| Catur Marga, Jalan dalam Hindu |
|
| Bhakti Marga • Karma Marga | |
| Jñāna Marga • Yoga Marga | |
| Darshana, Filsafat Hindu | |
| Samkhya • Yoga · Mimamsa | |
| Nyaya • Vaisiseka • Vedanta | |
| Veda | |
| Saṃhitā • Brāhmaṇa | |
| Āraṇyaka • Upaniṣhad | |
| Sastra Agama Hindu* | |
| Purana • Itihasa | |
| Hari Raya Hindu | |
| Galungan • Kuningan | |
| Saraswati • Pagerwesi | |
| Nyepi • Siwaratri | |
| Tokoh Tokoh Hindu | |
| Tokoh Hindu Kuno Tokoh Hindu Modern |
|
| Lihat Pula | |
| Mitologi Hindu | |
| Kosmologi Hindu | |
| Dewa-Dewi Hindu | |
| Portal:Hindu | |
| Indeks artikel tentang Hindu | |
Dalam agama Hindu, istilah Kasta disebut dengan Catur Warna. Dalam ajaran Catur Warna, status seseorang didapat sesuai dengan pekerjaannya. Dalam konsep tersebut diuraikan bahwa meskipun seseorang lahir dalam keluarga Sudra (budak) ataupun Waisya (pedagang), apabila ia menekuni bidang kerohanian sehingga menjadi pendeta, maka ia berhak menyandang status Brahmana (rohaniwan). Jadi, status seseorang tidak didapat semenjak dia lahir melainkan didapat setelah ia menekuni suatu profesi atau ahli dalam suatu bidang tertentu[1].
Dalam tradisi Hindu, Jika seseorang ahli dalam bidang kerohanian maka ia menyandang status Brāhmana. Jika seseorang ahli atau menekuni bidang administrasi pemerintahan ataupun menyandang gelar sebagai pegawai atau prajurit negara, maka ia menyandang status Kshatriya. Apabila seseorang ahli dalam perdagangan, pertanian, serta profesi lainnya yang berhubungan dengan niaga, uang dan harta benda, maka ia menyandang status Waisya. Apabila seseorang menekuni profesi sebagai pembantu dari ketiga status tersebut (Brahmana, Kshatriya, Waisya), maka ia menyandang gelar sebagai Sudra.
Daftar isi |
[sunting] Pembagian Catur Warna
[sunting] Warna Brahmana
Brāhmana merupakan golongan pendeta dan rohaniwan dalam suatu masyarakat, sehingga golongan tersebut merupakan golongan yang paling dihormati. Dalam ajaran Catur Warna, Seseorang dikatakan menyandang gelar Brāhmana karena keahliannya dalam bidang pengetahuan keagamaan. Jadi, status sebagai Brāhmana tidak dapat diperoleh sejak lahir. Status Brāhmana diperoleh dengan menekuni ajaran agama sampai seseorang layak dan diakui sebagai rohaniwan.
[sunting] Warna Kshatriya
Kshatriya merupakan golongan para bangsawan yang menekuni bidang pemerintahan atau administrasi negara. Kshatriya juga merupakan golongan para kesatria ataupun para Raja yang ahli dalam bidang militer dan mahir menggunakan senjata. Kewajiban golongan Kshatriya adalah melindungi golongan Brāhmana, Waisya, dan Sudra. Apabila golongan Kshatriya melakukan kewajibannya dengan baik, maka mereka mendapat balas jasa secara tidak langsung dari golongan Brāhmana, Waisya, dan Sudra.
[sunting] Warna Waisya
Waisya merupakan golongan para pedagang, petani, nelayan, dan profesi lainnya yang termasuk bidang perniagaan atau pekerjaan yang menangani segala sesuatu yang bersifat material, seperti misalnya: makanan, pakaian, harta benda, dan sebagainya. Kewajiban mereka adalah memenuhi kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan) golongan Brāhmana, Kshatriya, dan Sudra.
[sunting] Warna Sudra
Sudra merupakan golongan para pelayan yang membantu golongan Brāhmana, Kshatriya, dan Waisya agar pekerjaan mereka dapat terpenuhi. Dalam filsafat Hindu, tanpa adanya golongan Sudra, maka kewajiban ketiga kasta tidak dapat terwujud. Jadi dengan adanya golongan Sudra, maka ketiga kasta dapat melaksanakan kewajibannya secara seimbang dan saling memberikan kontribusi.
[sunting] Sistem kerja dalam Catur Warna
Catur Warna menekan seseorang agar melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Golongan Brāhmana diwajibkan untuk memberi pengetahuan rohani kepada golongan Kshatriya, Waisya, dan Sudra. Golongan Kshatriya diwajibkan agar melindungi golongan Brāhmana, Waisya, dan Sudra. Golongan Waisya diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan material golongan Brāhmana, Kshatriya, dan Sudra. Sedangkan golongan Sudra diwajibkan untuk membantu golongan Brāhmana, Kshatriya, dan Waisya agar kewajiban mereka dapat dipenuhi dengan lebih baik.
Keempat golongan tersebut (Brāhmana, Kshatriya, Waisya, Sudra) saling membantu dan saling memenuhi jika mereka mampu melaksanakan kewajibannya dengan baik. Dalam sistem Catur Warna, ketentuan mengenai hak tidak diuraikan karena hak diperoleh secara otomatis. Hak tidak akan dapat diperoleh apabila keempat golongan tidak dapat bekerja sama. Keempat golongan sangat dianjurkan untuk saling membantu agar mereka dapat memperoleh hak. Dalam sistem Catur Warna terjadi suatu siklus “memberi dan diberi” jika keempat golongan saling memenuhi kewajibannya.
Karena status seseorang tidak didapat semenjak lahir, maka statusnya dapat diubah. Hal tersebut terjadi jika seseorang tidak dapat melaksanakan kewajiban sebagaimana status yang disandangnya. Seseorang yang lahir dalam keluarga Brāhmana dapat menjadi seorang Sudra jika orang tersebut tidak memiliki wawasan rohani yang luas, dan juga tidak layak sebagai seorang pendeta. Begitu pula seseorang yang lahir dalam golongan Sudra dapat menjadi seorang Brāhmana karena memiliki pengetahuan luas di bidang kerohanian dan layak untuk menjadi seorang pendeta.
[sunting] Penyimpangan dalam sistem Catur Warna
Banyak orang yang menganggap Catur Warna sama dengan Kasta yang memberikan seseorang sebuah status dalam masyarakat semenjak ia lahir. Namun dalam kenyataannya, status dalam sistem Catur Warna didapat setelah seseorang menekuni suatu bidang/profesi tertentu. Sistem Catur Warna juga dianggap membeda-bedakan kedudukan seseorang. Namun dalam ajarannya, sistem Catur Warna menginginkan agar seseorang melaksanakan kewajiban sebaik-baiknya.
Kadangkala seseorang lahir dalam keluarga yang memiliki status sosial yang tinggi dan membuat anaknya lebih bangga dengan status sosial daripada pelaksanaan kewajibannya. Sistem Catur Warna mengajarkan seseorang agar tidak membanggakan ataupun memikirkan status sosialnya, melainkan diharapkan mereka melakukan kewajiban sesuai dengan status yang disandang karena status tersebut tidak didapat sejak lahir, melainkan berdasarkan keahlian mereka. Jadi, mereka dituntut untuk lebih bertanggung jawab dengan status yang disandang daripada membanggakannya.
Di Indonesia (khususnya di Bali) sendiri pun terjadi kesalahpahaman terhadap sistem Catur Warna. Catur Warna harus secara tegas dipisahkan dari pengertian kasta. Pandangan tersebut dikemukakan oleh Drs. I Gusti Agung Gde Putera, waktu itu Dekan Fakultas Agama dan Kebudayaan Institut Hindu Dharma Denpasar pada “pasamuan” Desa Adat se-kabupaten Badung tahun 1974. Gde Putera yang kini Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama mengemukakan[2]:
| Kasta-kasta dengan segala macam “titel”-nya yang kita jumpai sekarang di Bali adalah suatu anugerah kehormatan yang diberikan oleh Dalem (Penguasa daerah Bali), oleh karena jasa-jasa dan kedudukannya dalam bidang pemerintahan atau negara maupun di masyarakat. Dan hal ini diwarisi secara turun temurun oleh anak cucunya yang dianggap sebagai hak, walaupun ia tidak lagi memegang jabatan itu. Marilah jangan dicampur-adukkan soal titel ini dengan agama, karena titel ini adalah persoalan masyarakat, persoalan jasa, persoalan jabatan yang dianugerahkan oleh Raja pada zaman dahulu. Dalam agama, bukan kasta yang dikenal, melainkan “warna” dimana ada empat “warna” atau “Catur Warna” yang membagi manusia atas tugas-tugas (fungsi) yang sesuai dengan bakatnya. Pembagian empat warna ini ada sepanjang zaman |
Menurut I Gst. Agung Gde Putera, kebanggaan terhadap sebuah gelar walaupun jabatan tersebut sudah tidak dipegang lagi merupakan kesalahpahaman masyarakat Bali turun-temurun. Menurutnya, agama Hindu tidak pernah mengajarkan sistem kasta melainkan yang dipakai adalah sistem Catur Warna.
[sunting] Catatan
[sunting] Referensi
- Ketut Wiana dan Raka Santeri, “Kasta dalam Hindu – kesalahpahaman selama berabad-abad”. Penerbit: Yayasan Dharma Naradha. ISBN 979-8357-03-5
- I Gusti Agung Oka, “Slokantara”. Penerbit: Hanumān Sakti, Jakarta.

