C.L. Coolen

Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

Keseluruh artikel atau bagian artikel di bawah ini mungkin merupakan klaim sepihak yang belum bisa dibuktikan atau diverifikasi oleh sumber resmi.
Anda dapat membantu Wikipedia dengan menambahkan referensi. Lihat halaman diskusi untuk detil diskusi..

Subyek artikel ini tidak memenuhi kriteria kelayakan umum, maupun kebijakan kelayakan Wikipedia lainnya: Tokoh, Organisasi, atau Web.
Tolong bantu mengembangkan artikel ini agar memenuhi unsur kelayakan. Cara yang paling tepat adalah mencari dan mencantumkan referensi dari sumber-sumber dari pihak ketiga. Apabila dalam dua minggu artikel ini belum memenuhi kelayakan, berikan {{hapus:kelayakan}}.

COENRAAD LAURENS COOLEN adalah seorang peranakan Indo-Rusia. Ayahnya adalah seorang yang berdarah Rusia berkewarganegaraan Belanda, sedangkan ibunya berdarah Jawa dari golongan ningrat Mataram. Oleh para penduduk Ngoro di kemudian hari, ia biasa disapa – disesuaikan dengan lidah orang Jawa - dengan sebutan Tuwan Kolem. Ia dilahirkan di Ungaran pada sekitar tahun 1770-1790 dan wafat serta dimakamkan di Ngoro pada tanggal 2 Juli 1873. Ia tumbuh dan berkembang di bawah pengaruh lingkungan ningrat yang kuat. Oleh sebab itu ia sangat menguasai bahasa dan budaya Jawa. Sejak muda ia gemar mencari elmu, baik itu yang biasa diajarkan di kalangan kaum ningrat, semisal kesantikan dan kanuragan, maupun juga elmu yang terdapat di kalangan wong cilik. Apabila ia mendengar ada suatu peguron (perguruan) yang memberi pelajaran ilmu kadigdayaan, sesegera mungkin ia mendatanginya untuk berguru di tempat itu. Di situ ia biasanya belajar dengan sungguh-sungguh hingga ilmu tersebut dikuasainya. Dari catatan Mestaka, kita dapat melihat bagaimana ketekunan Coolen dalam mengumpulkan beberapa elmu Jawa; “sesungguhnya saya sejak muda telah memiliki banyak ilmu. Saya menguasai ilmu kanoman, bandung-bondowoso, bogonondo, gaib, poncosono, dan lain-lainnya masih banyak lagi. Itu semua telah saya coba kekuatannya. Seperti ilmu bandung-bondowoso. Kalau sudah dirapal, tentu memberi kekuatan yang amat ampuh. Pohon nyiur yang masih muda, saya cabut dengan akar-akarnya sambil jalan saja. Saya juga dapat masuk rumah orang tidak dengan membuka pintu, hanya dengan melalui sinar lampu saja. Itu ilmu limunan…”. Informasi mengenai kegemarannya mencari elmu dan juga kesaktiannya tidak hanya didapat dari pengakuannya saja melainkan juga dari kesaksian warga Desa Ngoro yang melihat dan mengalami langsung beberapa peristiwa gaib yang dilakukan oleh Tuwan Kolem. Kesaksian penduduk ini kemudian diturunalihkan secara lisan kepada generasi-generasi berikutnya. Sementara itu kita dapat menduga bahwa dari ayahnya dan melalui sekolah, Coolen mewarisi pula tradisi-tradisi modern Barat termasuk juga agama dan nilai-nilai Kristiani. Namun nampaknya pengaruh alam dan budaya Jawa lebih kuat dalam diri Coolen, sehingga dalam pandangan orang-orang Eropa sejamannya Coolen dipandang sebagai orang yang ‘eksentrik’, karena menjalani tradisi-tradisi Jawa yang bersifat mistik dan okultistik. Ketika memasuki usia dewasa, karena berbakat dalam membuat sketsa, Coolen diterima bekerja di pemerintahan selaku juru gambar pada Dinas Pemetaan. Kurang lebih selama tiga tahun ia bertugas memetakan dan menggambar situs-situs candi dan peninggalan kuno yang memang banyak terdapat di wilayah Jawa Timur. Selepas itu ia kemudian memutuskan untuk masuk dinas militer di Surabaya. Di tempatnya yang baru ini, ia menikah dengan seorang wanita Indo-Belanda dan beroleh lima orang anak (tiga orang putra dan dua orang putri). Seusai masa tugasnya di militer, ia memutuskan untuk pergi pindah ke Wirosobo (sekarang Mojoagung). Di tempat ini Coolen bekerja pada Dinas Kehutanan sebagai sinder blandong (pengawas hutan). Kala itu Wirosobo adalah wilayah pedalaman yang dikelilingi oleh hutan-hutan yang lebat. Karena tidak menjadi fokus pembangunan, daerah pedalaman menjadi kawasan sepi yang sangat menakutkan; tidak seramai kota Surabaya dan kota-kota lainnya di pesisir utara Jawa. Mungkin inilah sebabnya mengapa istri dan keluarga Coolen tidak bersedia ikut pindah dan lebih memilih tetap tinggal di Surabaya. Karena demikian halnya, di Wirosobo ini Coolen tinggal sendirian dan hanya ditemani oleh pembantunya, seorang wanita Jawa yang bernama Sadiyah. Selang beberapa lama, dengan tanpa menceraikan istri sahnya yang di Surabaya, Coolen lalu memutuskan untuk menikahi Sadiyah. Dari hasil pernikahannya dengan Sadiyah ini, ia memperoleh dua orang anak. Damar adalah nama putra tertuanya. Lewat peran putranya inilah jalan hidup Coolen dikemudian hari turut ditentukan. Konon pada suatu hari, Damar bercerita kepada ayahnya bahwa ia bermimpi didatangi seseorang yang bernama Ki Gede Ngoro. Ki Gede Ngoro ini adalah cikal bakal Desa Ngoro yang hidup pada zaman Majapahit dahulu kala. Desa Ngoro sendiri, pada waktu Coolen di Wirosobo, sudah menjadi hutan belantara kembali karena telah lama ditinggalkan para penduduknya. Menurut Damar, dalam mimipinya Ki Gede Ngoro berpesan agar ayahnya, Coolen, membuka kembali Desa Ngoro sehingga makam Ki Gede memperoleh perawatan yang layak. Syahdan Coolen mempercayai mimpi sang anak. Bahkan ia menganggap Damar itu sebagai titisan dari Ki Gede Ngoro sendiri. Setelah mendengar kisah mimpi anaknya itu, bertolaklah Coolen menuju hutan Ngoro, untuk melakukan semacam observasi sederhana. Menurut pengamatannya, daerah tersebut memiliki prospek pertanian yang cukup bagus karena tanahnya cukup subur dan kaya akan air. Maka ia pun segera mengurus perijinan kepada pemerintah agar ia diperkenankan untuk membuka dan mengusahakan hutan Ngoro. Permohonan Coolen dikabulkan dan ijin dari pemerintah secara resmi keluar pada tanggal 3 Juli 1827. Oleh pemerintah ia diperkenankan mengusahakan tanah seluas 2.000 bau (1.420 ha) tersebut sebagai perkebunan dengan kurun waktu kontrak selama 30 tahun. Dimulai sejak tahun keenam sejak izin itu keluar, setiap tahunnya Coolen diwajibkan untuk menyetor kepada pemerintah, uang sewa tanah sebesar 2.000 gulden.